Sunday, March 27, 2016

Cerita Lucu Abu Nawas "Abu Nawas dan Pengemis"

Cerita Lucu Abu Nawas "Abu Nawas dan Pengemis"

Ada seorang saudagar di Bagdad yang memiliki suatu kolam yang airnya populer benar-benar dingin. Konon tak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama- lama, terlebih sampai separuh malam.
“Siapa yang berani berendam
semalam di kolamku, saya beri hadiah sepuluh ringgit, ” kata saudagar itu.

Ajakan itu mengundang beberapa orang buat mencobanya. Akan tetapi tak ada yang tahan semalam, paling lama cuma dapat hingga sepertiga malam.

Disuatu hari datang seorang pengemis kepadanya.
“Maukah anda berendam didalam kolamku ini semalam? Bila anda tahan saya beri hadiah sepuluh ringgit, ” kata si saudagar.
“Baiklah bakal kucoba, ”
jawab si pengemis. Lalu dicelupkannya ke-2 tangan serta kakinya ke dalam kolam, memanglah air kolam itu dingin sekali.
“Boleh lumayan,” tuturnya lalu.
“Kalau demikian kelak malam anda dapat berendam disitu, ” kata si saudagar.

Menunggu datangnya malam si pengemis pulang dahulu pingin memberitahu anak istrinya tentang gagasan berendam di kolam itu.
“Istriku, ” kata si pengemis sesampainya dirumah.
“Bagaimana pendapatmu
apabila saya berendam semalam di kolam saudagar itu buat memperoleh duit sepuluh ringgit? Bila anda setuju saya bakal
mencobanya. ”
“Setuju, ” jawab si istri,
“Moga-moga Tuhan menguatkan tubuhmu. ”

Lalu pengemis itu kembali ke tempat tinggal saudagar.
“Nanti malam jam delapan anda bisa masuk ke kolamku serta bisa keluar jam enam pagi, ” kata si saudagar,
“Jika tahan bakal ku bayar upahmu.”

Setelah tiba waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan hingga tak tahan lagi serta pingin
keluar, namun lantaran mengharap duit upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia lalu berdoa pada Tuhan supaya airnya tak terlampau dingin
lagi. Nyatanya doanya dikabulkan, ia tak merasa kedinginan lagi. Kurang lebih jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia cemas jangan-jangan bapaknya mati
kedinginan. Hatinya benar-benar senang saat dipandang bapaknya tetap hidup. Lalu ia menyalakan api di pinggir kolam serta menanti hingga pagi.

Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam serta buru-buru menjumpai si saudagar buat minta
upahnya. Akan tetapi saudagar itu menampik membayar,
“Aku tidak ingin membayar, lantaran anakmu bikin api di pinggir kolam, anda pasti tak kedinginan. ”
Akan tetapi si pengemis tidak ingin kalah, “Panas api itu tak hingga ke tubuh aku, tak hanya apinya jauh, aku kan berendam di air, masakan api dapat masuk ke dalam air? ” “Aku terus tidak ingin membayar upahmu, ” kata saudagar itu ngotot.
“Sekarang terserah anda, akan
melapor atau berkelahi denganku, saya tunggulah. ”

Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke tempat tinggal,
“Sudah kedinginan 1/2 mati, tak bisa duit lagi, ” pikirnya. Ia lalu
menyampaikan penipuan itu pada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu terlebih membetulkan sikap sang saudagar. Lalu ia berupaya menjumpai beberapa orang besar yang lain buat di ajak bicara, akan tetapi ia terus disalahkan lumayan.
“Kemana lagi saya bakal menyampaikan nasibku ini, ”
kata si pengemis dengan
suara putus harapan.
“Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan. ” Doanya dalam hati.

Ia juga jalan ikuti langkah kakinya dengan perasaan yang makin dongkol. Dengan takdir Allah ia bersua dengan Abu Nawas di pojok jalur.
“Hai, hamba Allah, ” Bertanya Abu Nawas, saat lihat pengemis itu terlihat benar- benar sedih. “mengapa kamu terlihat murung sekali? Walau sebenarnya hawa sedemikian cerah. ”
“Memang benar hamba tengah dilanda malang, ” kata si pengemis, lalu dikisahkan musibah yang menimpa si pengemis sembari
menyampaikan nasibnya.
“Jangan sedih lagi, ” kata Abu
Nawas mudah. “Insyaallah saya bisa menolong merampungkan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku serta lihatlah langkahku, pasti anda menang dengan izin Allah. ”
“Terima kasih banyak, kamu bersedia menolongku, ” kata si pengemis. Lalu keduanya berpisah. Abu Nawas tak pulang ke tempat tinggal, tetapi menghadap Baginda
Sultan di Istana.
“Apa berita, hai Abu Nawas? ” sapa Baginda Sultan demikian lihat batang hidung Abu Nawas. “Ada persoalan apa kiranya hari ini? ”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam, ” jawab Abu Nawas.
“jika tak keberatan patik silakan baginda datangkerumah patik, karena patik mempunyai hajat. ”
“Kapan saya harus datang ke rumahmu? ” bertanya baginda
Sultan
. “Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku, ” jawa Abu Nawas.
“Baiklah, ” kata Sultan, saya
pasti datang ke rumahmu. ”

Demikian keluar dari Istana, Abu Nawas segera ke tempat tinggal saudagar yang mempunyai kolam, lalu ke tempat tinggal tuan hakim
serta pembesar-pembesar yang lain yang sempat dihubungi oleh si pengemis. Pada mereka Abu Nawas mengemukakan undangan
buat datang kerumahnya senin depan.

Hari senin yang ditunggu, dari jam tujuh pagi tempat tinggal Abu Nawas sudah penuh dengan tamu yang diundang, terhitung baginda Sultan. Mereka duduk di permadani
yang pada mulanya sudah digelar oleh tuan tempat tinggal seperti dengan pangkat serta kedudukan tiap-tiap. Sesudah seluruhnya terkumpul, Abu Nawas mohon
pada sultan buat pergi kebelakang tempat tinggal, ia lalu menggantung suatu periuk besar pada suatu pohon, menjerangnya – menyimpan diatas api.

Tunggulah mempunyai tunggulah, Abu Nawas tak terlihat batang hidungnya, maka Sultan juga memanggil Abu Nawas,
“kemana kiranya si Abu Nawas, telah masakkah nasinya atau belum? ” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia juga menjawab,
“Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam. ”
Baginda juga diam, serta duduk kembali. Akan tetapi saat matahari sudah tiba ke ubun-ubun, nyatanya Abu Nawas tidak lumayan nampak
di hadapan beberapa tamu. Perut baginda yang buncit itu sudah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Saya telah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,
” sahut tuan tempat tinggal.
Baginda tetap sabar, ia lalu duduk kembali, namun saat saat dzuhur telah hampir habis tidak lumayan ada hidangan yang keluar,
baginda tidak sabar lagi, ia juga menyusul Abu Nawas di bagian belakang tempat tinggal, di ikuti tamu-tamu yang lain. Mereka ingin tahu apa sebenarnya yang ditangani tuan tempat tinggal, nyatanya Abu Nawas tengah mengipas- ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, kenapa anda bikin api dibawah pohon bagai itu? Tanya baginda Sultan.

Abu Nawas juga bangkit, untuk mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba tengah memasak nasi, sebentar lagi lumayan masak, ” jawabnya.
“Menanak nasi? ” bertanya baginda, “Mana periuknya? ”
“Ada, tuanku, ” jawab Abu nawas sembari mengangkat mukanya ke atas. “Ada? ” bertanya beginda
keheranan.
“Mana? ” ia mendongakkan mukanya ke atas ikuti gerak Abu Nawas, terlihat diatas sana suatu periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, telah gilakah anda?
” bertanya Sultan. “Memasak nasi bukan hanya demikian langkahnya, periuk diatas pohon, apinya dibawah, anda tunggulah sepuluh hari juga beras itu tak bakalan jadi
nasi. ”
“Begini, Baginda, ” Abu Nawas
berupaya menuturkan tindakannya.
“Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya benar-
benar dingin serta bakal diupah sepuluh ringgit bila dapat bertahan satu malam."
Si pengemis setuju lantaran mengharap upah sepuluh ringgit serta sukses melaksanakan janjinya.

Namun si saudagar tidak ingin membayar, dengan argumen anak si pengemis bikin api di tepi kolam. ” Lalu seluruhnya dikisahkan pada
Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim serta beberapa pembesar yang membetulkan sikap si saudagar.
“Itulah penyebab patik berbuat bagai ini. ”
“Boro-boro nasi itu bakal masak, ” kata Sultan,
“Airnya saja tak akan panas, lantaran apinya terlampau jauh. ”
“Demikian juga halnya si pengemis, ” kata Abu Nawas lagi. “Ia didalam air serta anaknya bikin api di tanah jauh dari tepi kolam. Namun saudagar itu menyampaikan bahwasanya si pengemis tak berendam di air lantaran ada api di tepi kolam, hingga air kolam jadi hangat. ”
Saudagar itu pucat mukanya. Ia tak bisa membantah kalimat Abu Nawas.
Begitupun beberapa pembesar itu, lantaran memanglah demikianlah halnya.
“Sekarang saya ambillah ketentuan begini, ” kata Sultan. “Saudagar itu mesti membayar si pengemis seratus dirham serta di hukum sepanjang sebulan lantaran sudah berbuat salah pada orang miskin. Hakim serta beberapa orang pembesar di hukum empat hari lantaran berbuat tak adil serta menyalahkan orang yang benar. ”
Waktu itu lumayan si pengemis beroleh uangnya dari si saudagar.

Sesudah mengemukakan hormat pada Sultan serta berikan salam
pada Abu Nawas, ia juga pulang dengan riangnya. Sultan lalu memerintah mentrinya buat memenjarakan saudagar serta beberapa pembesar sebelum saat pada akhirnya kembali ke Istana
dalam situasi lapar serta dahaga.
Bakal halnya Abu Nawas, ia juga sesungguhnya perutnya keroncongan serta kehausan.

Jika Anda ingin mendapatkan banyak hal yang menarik lainnya, silahkan BOOKMARKS blog ini ! ;)